Powered by Blogger.

Analisamu Sungguh Tajam dan Bermanfaat !! Belajarlah dari hal yang sederhana

Siswa SMK Kesehatan NW Teros  Tertanggal 24 November 2019 Siswa SMK Kesehatan NW Teros menggelar Praktik Kerja lapangan di dusun bagik l...

Search This Blog

Pages

Pages - Top Menu

Pages

Blogroll

https://elhakimfamily.blogspot.com

Pages - Menu

About

Popular Posts

Saturday, 1 February 2020

lillahita'ala


Agama adalah jalan kebaikan yang berisi aturan-aturan untuk ditaati yang akan menyelamatkan seluruh umat manusia. Manusia sejak lahirnya sudah memiliki potensi beragama yang harus dilalui menuju Tuhan yang agung, Tuhan (Allah) adalah tujuan beragama, sedangkan agama adalah proses menuju Tuhan. Kalau dalam perjalanan panjang ini manusia menjalani proses dengan tidak baik dengan menelusuri jalan berliku-liku, maka dipastikan akan sulit untuk menggapai tujuan.
Maka, untuk mencapai tujuan yang diinginkan, jalan ini harus dirawat dan dilalui dengan hati-hati, tidak membiarkan duri berserakan, menumbuk yang ambruk dan memperhalus yang rusak, maka perjalanan akan terasa mengasyikkan tanpa kendala. Kalau sudah demikian, maka tujuan akan segera tercapai. Tanpa ada kesadaran untuk merawat jalan yang dilalui, secara tidak sadar, sedang menghancurkan jalan tersebut.
Agama sebagai sebuah jalan kebenaran, hendaknya menghadirkan Tuhan dalam setiap ritual-ritual keagamaan. Hil yang mustahal beragama tanpa Tuhan, atau ber-Tuhan tanpa agama. Tapi, dalam menjalani ritual keagamaan, sering dilupakan tujuan utamanya, terutama ketika berhadapan dengan kemajuan zaman seperti globalisasi saat ini, jalan mulai dikikis, untuk menuju Tuhan pun harus melewati jurang yang terjal atau jalan yang berliku-liku dan bahkan, ritual keagamaan dijadikan sebagai Tuhan.
Betapa banyak umat manusia yang berusaha menjauhkan agama dengan Tuhan, menjalani ritual agama tapi menghilangkan Tuhan di dalamnya. Tuhan adalah substansi beragama, sedangkan agama adalah identitas yang menunjukkan adanya kekuatan Tuhan yang merangkul segala sesuatu yang berada di luar keagungan agama yang dianut. 
Banyak contoh dalam kegiatan beragama pada masyarakat yang tidak disadari ataupun disadari telah menghilangkan Tuhan dalam kegiatannya. Agama (ritual agama) yang menjadi identitas mengalahkan substansi Tuhan. Ibadah yang dilakukan bertujuan untuk mendekatkan pemeluk agama dengan Tuhannya, dalam Islam litaqarrabu ila Allah (mendekatkan diri dengan Allah).
Shalat adalah ibadah yang bertujuan untuk mengagungkan Allah, menghadirkan Allah dengan janji setia umat sejak takbiiratul ihram. Ditunaikannya shalat dalam Islam untuk mencegah perbuatan keji dan mungkar, tetapi tujuan utama shalat tidak tercapai sepenuhnya bagi sebagian yang menjalankannya. Kemaksiatan semakin ditekuni, cara-cara shalat diperdebatkan, itu karena ritual agama diagungkan tapi menghilangkan substansi Tuhan dalam ritual shalat yang dilakukan. Kemudian puasa bertujuan mengembalikan manusia kepada kesucian (fitrah), tetapi dalam berbuka seakan “balas dendam” terhadap rasa haus dan dahaga yang dialami ketimbang harus mendekatkan diri kepada Allah pada malam harinya.
Begitu juga dengan berhaji, menghabiskan biaya tinggi dengan menunggu bertahun-tahun keberangkatannya. Ritual haji dijalankan dengan menikmati suasana berkumpul dengan banyak orang, tapi haji dijadikan untuk memperoleh predikat lebih dihadapan masyarakat dengan melupakan dan menghilangkan esensi haji dan perjalanan suci yang dilakukannya, berhaji tidak lantas membuat perubahan dalam tingkah lakunya. Berdzikir dan tahlilan, lebih mengutamakan cara berkumpulnya dengan teman-temannya dan makanan yang disajikan daripada mengingat kematian yang akan dialami dan tujuan bertakziah kepada keluarga yang ditinggalkan.
Ritual-ritual keagamaan diagungkan, cara beragama ditampilkan sekedar menggugurkan kewajiban, substansi dari ritual dan cara beragama dihilangkan. Semua ajaran-ajaran Islam itu adalah proses, proses menyerahkan diri kepada Allah yang Maha segalanya. Kemudian, jika ada yang mengaku elite beragama tapi dalam menjalani proses, tidak mampu menghadirkan kedekatan dengan Allah, maka proses menuju Tuhan belum maksimal, Tuhan masih digadaikan dengan ritual keagamaan semata. 
Menuju ke tujuan, perlu kesadaran akan liku perjalanan yang dilalui, dibutuhkan pembelajaran yang matang, pikiran yang jernih. Karena menjalani ritual tanpa kesadaran penuh akan membuat penganut agama menjadi mabuk, mabuk agama dan melupakan Tuhan yang seharusnya diagungkan dan dimuliakan melalui ritual-ritual keagamaan yang dijalani. Tuhan yang seharusnya dimuliakan dan diagungkan jangan sampai dinistakan dengan agama yang akan membuat tersesat di jalan yang lurus.
Manusia diturunkan agama oleh Tuhan dengan tujuan agar mengerti kehendak Tuhan terhadap manusia dan alam semesta. Tapi perlu pengertian yang menekankan pikiran secara mendasar, bahwa agama bukan Tuhan dan Tuhan bukan agama, namun agama dapat mengantarkan manusia menuju Tuhan, jadi agama jangan dipertuhankan sebab akan membuat manusia semakin tidak mengerti Tuhan.
Untuk mengerti tentang Tuhan, tidak cukup dengan mengetahui agama saja, tetapi harus memahami secara mendalam ilmu-ilmu agama, karena ilmu agama adalah cara mengetahui eksistensi Tuhan. Sehingga antara agama dan Tuhan tidak bisa dipisahkan, ia merupakan satu kesatuan seperti yang banyak disinggung dalam penjelasan di atas. Jika antara agama (ilmu agama) dipisahkan, maka akan menghasilkan pemikiran yang bersumber dari hawa nafsu dan akal pikiran semata. Energi terbesar dari tujuan pemahaman akan hilang dan tinggal orang-orang yang mengandalkan kekuatan logika dan akan mengeluarkan pemahaman baru yang dikenal dengan ateisme.
Ilmu agama (al-Qur’an dan Hadits) sebagai alat untuk merasakan Tuhan harus ditempatkan pada urutan pertama sebelum ilmu-ilmu yang bersifat logika lainnya. Ilmu agama ini bukan hanya dipelajari, dimengerti dan dipahami lalu diamalkan isinya, tetapi membutuhkan penghayatan yang tinggi dan dirasakan substansinya dalam diri dan jiwa sehingga akan terasa bahwa Tuhan hadir dalam agama tersebut.
Abdullah Puja dalam tulisannya pada tanggal 23 Januari 2018 pernah mencontohkan hal ini, untuk menyatukan agama dengan Tuhan, maka dibutuhkan ilmu agama sebagai alat, dalam mempelajari ilmu bernyanyi, hafal lirik lagu, hafal ketukan dan irama nadanya, merdu suaranya, diisi dengan hati perasaan sesuai lirik lagu, dengan istilah dihayati atau dijiwai, hasil akhirnya dapat membuat orang yang mendengar terasa terharu, merasa indah dan merindu galau dan lain sebagainya, hingga mampu juga melelehkan air mata karena terbawa emosinya ke dalam lirik lagu tersebut.
Ia melanjutkan; apalagi halnya dengan ilmu agama yang sarat dengan firman-firman Allah, kata-kata Allah tentunya sangat penuh dengan fitrah, Karomah, anugerah, keberkahan yang seharusnya dapat dirasakan langsung kenyataannya, hakikatnya bagi manusia yang mempelajari dan mengamalkan ilmu agamanya. Ilmu Agama dapat dipelajari dengan hasil yang sempurna, dengan menggunakan akal pikir sebagai alat untuk menghafal ilmunya, hati rasa perasaan sebagai alat untuk mentawadhu kan diri dan bersabar diri, serta kalbu sebagai alat untuk merasakan hasilnya atau kenyataannya.
Intisari dari hubungan agama dengan Tuhan adalah menempatkan posisi Tuhan pada tempat yang seagung-agungnya, menjalani agama sesuai dengan kodratnya. Zaman globalisasi saat ini telah mengubah wajah bertuhan, agama yang sejatinya menjadi sebuah identitas ketaklukan diri, ternyata telah menjadikan umat manusia buta terhadap Tuhannya. Agama diagungkan, ritual agama dimuliakan, bahkan lupa kalau yang diperdebatkan adalah kalam Allah yang dibungkus rapi dalam bentuk ilmu agama. 
Hal ini pernah terjadi ketika Rasulullah SAW wafat. Semua sahabat menangisi kepergian Rasulullah, banyak sahabat yang tak mempercayainya. Mereka sangat terpukul hingga seakan tak bisa menerima kenyataan. Hiruk pikuk pendapat saling bertebaran seiring dengan hilir mudiknya para sahabat ketika itu. Kondisi ini berlanjut demikian, hingga datanglah sahabat Umar Bin Khattab Ra. Beliau berkata: "Barang siapa yang me-Nuhan-kan Nabi, Ketahuilah bahwa Ia telah wafat. Tetapi barang siapa yang me-Nuhan-kan Allah, sesungguhnya Allah tidak akan pernah mati". Kurang lebih demikian pernyataan Umar Ra.
Pernyataan Umar ini selaras dengan pernyataan seorang sufi besar, Ibrahim Bin Adham yang menyatakan, bahwa siapa saja yang bertuhan selain kepada Allah, sesungguhnya ia telah lepas dari tauhid". Kita tidak cukup gila untuk menyembah kepada selain Tuhan. Tetapi, bagaimana bila kita me-Nuhan-kan agama?. Ada kecenderungan sebagian individu yang me-Nuhan-kan agama. Mereka biasanya berpegang teguh kepada penafsirannya terhadap teks agama. Sehingga terciptalah dikotomi hitam-putih bagi mereka. Tentu saja ia dan kelompoknya yang putih, sementara kelompok lainnya ialah hitam dan mereka telah me-Nuhan-kan teks. 
Andaikata mereka tidak me-Nuhan-kan teks, tentu mereka akan menghargai serta menerima perbedaan pendapat di luar pendapat mereka. Coba cermati bagaimana perkataan Umar yang memberi indikasi bahwa Beliau tak ingin me-Nuhan-kan Nabi Saw. Sahabat Umar merujuk kepada ayat al-Quran yang lainnya, yaitu bahwa Nabi ialah manusia biasa. Ia bukan Tuhan yang tak pernah wafat. Teks agama-pun demikian. Ia bukanlah Tuhan. Sehingga jika kita bertemu satu ayat, kita langsung hantam kromo terhadap pihak yang tak sependapat dengan kita. 
Teks kitab suci itu fleksibel, dan ia saling berkaitan, Jika kita berpegang kepada satu teks tanpa memperhatikan teks lainnya, maka inilah yang dimaksud dengan: kita telah me-Nuhan-kan agama. Kita lupa bahwa Tuhan memang berkehendak kita beda. Dalam Alquran sendiri, Allah berfirman: " Wa Law Sya Allah La Ja'alakum Ummah Wahidah". Jika Allah berkehendak, niscaya kita akan dijadikan satu umat. Tentu makna umat ini sangat luas sekali. Umat bisa dimaknai dengan satu agama, ras dan suku bangsa. Umat juga bisa dimaknai dengan pemikiran atau pemahaman kita terhadap agama. Jadi jika ada kelompok yang memaksakan pendapat, atau ingin umat ini seragam dengan mereka. Ketahuilah mereka tidak me-Nuhan-kan Tuhan. Tetapi mereka me-Nuhan-kan agama. 
Sebab andai mereka me-Nuhan-kan Tuhan, niscaya mereka akan menghargai kehendak Tuhan yang ingin kita berbeda. Dengan tujuan agar kita bisa mengambil hikmah dari seluruh perbedaan yang ada sehingga kita bisa me-Nuhan-kan Tuhan dengan arti yang hakiki dan bukan semu

0 comments:

Post a Comment