BIOGRAFI INTELEKTUAL TUAN GURU HAJI LALU MUHAMMAD FAISHAL
1.
Masa Kecil dan Pendidikan Tuan Guru Haji Muhammad Faishal
a.
Masa Kecil
Semua makhluk hidup di dunia ini, pasti pernah mengalami
masa kecil yang tumbuh berkembang menjadi remaja dan dewasa hingga dipanggil
kembali kepada-Nya. Masa kecil ini adalah proses untuk mengukur kepribadian
yang akan dibawa hingga dewasa sebagai bekal hidup. Begitu Juga dengan Tuan
Guru Faishal. Faishal merupakan yang kehadirannya ditunggu-tunggu oleh orang
tuanya sebagai anugerah yang sangat
berharga bagi keluarga dan khususnya orang tuanya. Lalu Muhammad Faishal
merupakan nama kecilnya yang dilahirkan di kampung Perbawe Kota Praya Lombok
Tengah pada tanggal 23 April 1925. Lalu Muhammad Faishal adalah anak kedua dari
tiga bersaudara yaitu Baiq Amnil dan Lalu Bukran. Lalu Faishal lahir dari
pasangan keluarga yang sangat religius, baik dalam hubungan dengan Allah (spiritual)
maupun dengan sesama manusia (emosional), yaitu Lalu Abdul Hanan dengan Baiq
fatmawati.
Mamiq (bapak) dari Faishal adalah Lalu Abdul Hannan dengan
nama asli Lalu Zainal Abidin alias mamiq Winesari putra dari Mamiq Radiyah.
Orang tua Lalu Muhammad Faishal ini dikenal sebagai bangsawan dan tokoh
Parwangse (tokoh adat) yang taat terhadap perintah Allah dan selalu menjunjung
tinggi nilai kemanusiaan seperti yang diungkapkan di atas. Lalu Abdul Hannan
terbilang orang yang sangat sibuk dengan berbagai kegiatan untuk kepentingan
pribadi dan masyarakat.
Kesibukan Lalu Abdul Hannan selain aktif sebagai pengurus
adat, purwangse, ia juga sebagai seorang pemuka agama pada ditempatnya. Kalau
pada sisang hari ia sibuk dengan kegiatannya sosial kemasyarakatan, maka kegiatannya
pada malam hari adalah mendidik dan mengajarkan masyarakat mengaji/membaca
al-Qur’an dan tajwid di tanah kelahirannya yaitu di Kampung Perbawe Praya. Lalu
Abdul Hannan adalah tokoh yang memiliki keuletan dalam menjalankan tugas
sebagai makhluk Allah, giat menghubungkan diri dengan masyarakat untuk menjalin
silaturrahim, memiliki kharisma yang tinggi dan disegani oleh masyarakat
setempat karena peran yang dimilikinya sebagai tokoh agama dan tokoh bangsawan.
Sehingga tiga aspek yang merupakan landasan ibadah manusia ada pada Lalu Abdul
Hannan, yaitu hablun min Allah, Hablun min an-Nas dan Hablun min alqo’inat.
Sebagai tokoh agama dan bangsawan yang mengerti dan memahami
cara mendidik, mengerti ajaran-ajaran Islam, sudah semestinya maka sudah
menjadi kewajiban untuk di aplikasikan kepada cara mendidik putra-putrinya. Lalu
Muhammad Faishal dididik dengan tekun dan terampil dengan ilmu-ilmu yang
bermanfaat, diajari dasar-dasar agama olehnya, dengan harapan suatu saat akan
menjadi penerus agama yang akan menggantikan posisi alim ulama dan orang
tuanya. Harapan-harapan orang tua tersebut dipenuhi oleh Lalu Muhammad Faishal
dengan menuntut ilmu sungguh bersama saudaranya Lalu Bukran yang kelak menjadi
pendiri pondok pesantren Saadatul Banat Diniyah Islamiyah (SBDI).
Lalu Muhammad Faishal lahir dengan sempurna pada keluarga
yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Ia tumbuh menjadi anak yang patuh pada
perintah orang tuanya, senang membantu baik kepada orang tua dan teman-teman
seusianya. Ia menjadi anak yang periang dan selalu memancarkan keceriaan dan
murah senyum diwajahnya tumbuh menjadi seorang anak sehat dan selalu membantu
orang tuanya, walaupun anak seusianya sedang asyik bermain dengan teman-teman
seusianya tetapi kesempatan untuk mengikuti acara pengajian orang tuanya selalu
disisihkan.
b.
Pendidikan Tuan Guru Haji Muhammad Faishal
Untuk menjadi orang yang benar-benar ingin mengetahui ilmu
agama, maka sudah sewajarnya pendidikan menjadi jalur utama untuk memperoleh
ilmu-ilmu yang bermanfaat sebagai modal hidup untuk keselamatan dunia akhirat.
Pendidikan merupakan jalan terang bagi manusia untuk mencapai segala keinginan dan
cita-cita hidup, bahkan untuk menjadi tukang bangunan saat ini diperlukan
pendidikan mengenai arsitek dan ilmu teknik, apalagi mau menjadi seorang ulama,
maka hal yang akan ditempuh adalah pendidikan mengenai ilmu-ilmu agama yang
akan menunjang menjadi seorang ulama.
Dari kecil Lalu Muhammad Faishal
dididik dan dibesarkan dalam semangat memelihara derajat penguasaan ilmu-ilmu keagamaan tradisional. Apalagi orang tuanya sendiri seorang
yang peduli terhadap ilmu-ilmu agama. Selain itu juga terkenal sebagai Hafidzul
Qur’an yang wira’i dan zuhud dengan pengetahuan agama yang mendalam terutama
ilmu ushul.[1]
Sebagai orang tua yang peduli terhadap ilmu-ilmu agama dan demi masa depan
putranya, maka langkah untuk menganjurkan putranya menuntut ilmu secara
otodidak.
1. Menuntut ilmu di Ampenan
Ampenan merupakan nama sebuah kecamatan di Kota Mataram yang
saat ini berada disebelah barat Mataram. Ampenan adalah tempat pertama yang
dilalui Lalu Muhammad Faishal menuntut ilmu, menghabiskan masa-masa bermainnya
sebagaimana anak-anak seusianya. Di sini Lalu Muhammad Faishal belajar
ilmu-ilmu agama dan dasar-dasar ilmu fiqh sebagai bekal dalam menjalani
kehidupan kesehariannya. Di tempat inilah Lalu Muhammad Faishal mulai belajar
menjadi seorang yang dikagumi dan disegani bagi teman-temannya dengan
menunjukkan prestasinya sebagai santri yang rajin dan taat kepada perintah
gurunya. Sejak saat itu ia bercita-cita menjadi seorang ulama yang berguna
dikemudian hari sebagai penerang dalam kegelapan.
Usia 8 tahun Lalu Muhammad Faishal di masukkan ke pondok
pesantren Al-Ittihad Al-Islamiyah
Ampenan Lombok Barat pada tahun 1933 untuk mengenyam pendidikan dasar dan ini
merupakan pendidikan pertamanya dan harus berpisah dengan orang tuanya seusia
itu. Pendidikan dasar ini merupakan proses awal yang harus dijalani untuk
melakukan latihan-latihan spiritual sebagai modal beranjak kearah yang lebih
tinggi.
Anak seusianya yang harus berpisah dengan orang tuanya
sangatlah muda, karena usia demikian masih sangat membutuhkan kasih sayang dan
belaian orang tua, dan jarak antara Ampenan dengan Praya sangatlah jauh ukuran
dahulu. Namun karena cita-cita dan semangat orang tuanya yang menginginkan
anaknya menjadi seorang penerang (tokoh agama) dikemudian hari, orang tuanya
mengikhlaskan anaknya dan harus rela berpisah dengan anaknya.[2]
Lalu Muhammad Faishal tergolong santri yang cerdas dan cepat memahami pelajaran
yang disampaikan oleh gurunya. Tuan Guru selalu mendapat nilai plus dari
gurunya dan disegani oleh teman-temanya.
Kegiatan belajar Lalu Muhammad Faishal tidak terbatas kepada
waktu sekolah saja, waktu istirahat dimanfaatkannya untuk belajar, sehingga
mendapat prestasi yang memuaskan dan mengalahkan prestasi teman-temannya. Berkat
prestasinya dalam mengenyam pendidikan dasar, Lalu Muhammad Faishal selesai
tepat waktu dan tergolong santri yang memperoleh predikat tertinggi, ini semua
karena semangatnya yang gigih dalam mempelajari ilmu-ilmu agama walaupun
usianya pada waktu itu tergolong santri yang sangat muda namun mengalahkan
santri-santri yang lain.
Membaca bagi Lalu Muhammad Faishal merupakan kebutuhan vital
walaupun usianya masih terolong anak-anak. Membaca baginya akan meningkatkan
pengetahuan dari tidak tau menjadi tau, dari tidak bisa menjadi bisa. Ketika
masih menjadi santri, hobi membaca Lalu Muhammad Faishal semakin mendapatkan
tempat. Dia didorong oleh gurunya untuk menghafal kitab-kitab dasar, terutama
dalam mempelajari ilmu fiqh dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan agama sebagai
pondasi bagi Lalu Muhammad Faishal dalam mengenyam pendidikan yang lebih tinggi
dengan ilmu yang lebih tinggi pula.
Untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi manusia lain, Lalu
Muhammad Faishal selalu taat terhadap perintah dan anjuran guru-gurunya. Dan
inilah yang membuat Lalu Muhammad Faishal terobsesi untuk semakin mendalami
kitab-kitab dari ulama terdahulu dengan belajar lebih tekun kepada
guru-gurunya. Dari pondok pesantren ini kemudian Lalu Muhammad Faishal mencetak
karirnya sebagai orang yang cerdas dan akan berguna bagi manusia secara umum.
2. Menuntut ilmu di Pancor Lombok Timur
Sebagai seorang yang berambisi dan haus terhadap ilmu
pengetahuan, tekad menuntut ilmu Lalu Muhammad Faishal tidak berhenti sampai di
Ampenan saja. Dengan anjuran, nasihat dan arahan gurunya di pondok pesantren
Al-Ittihad Ampenan, kemudian Lalu Muhammad Faishal melanjutkan pengembaraan
intelektualnya ke pondok pesantren Nahdlatul Wathan Pancor Lombok Timur.
Di Pancor ini Lalu Muhammad Faishal kembali membuka diri
terhadap ilmu-ilmu agama dan umum. Ia kembali membuktikan diri menjadi orang
yang berprestasi dibandingkan dengan teman-temannya yang lain. Hal demikian
tentunya didorong oleh semangat dan tenaga yang energik serta ambisi menuntut
ilmu agama dan umum yang tinggi sejak Tahun 1938, Lalu Muhammad Faishal hijrah
melanjutkan pengembaraan intelektualnya menuju sekolah yang lebih tinggi di
Pancor Lombok Timur yang pada waktu itu dipimpin oleh ulama yang sangat
disegani, yaitu Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid.
Bersama Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, Lalu
Muhammad Faishal selalu menghabiskan waktunya untuk belajar tentang kaidah-kaidah
agama, kitab-kitab ulama tradisional, fiqh, ushul fiqh dan berbagai macam kitab
yang akan menunjang kecerdasannya dan sebagai alat dalam berdakwah dikemudian
hari, sehingga di tempat ini juga Lalu Muhammad Faishal terkenal sebagai
seorang murid yang cerdas dan berprestasi serta memiliki keinginan yang kuat
untuk terus belajar. Sebagai bukti untuk menunjukkan prestasi yang diraih oleh
Lalu Muhammad Faishal, dia selalu mendapat peringkat kelas urut 1 dari
teman-temannya.
Berdasarkan hal ini teman-temannya mengaguminya dan tidak
jarang temannya bertanya dan mengajaknya diskusi umtuk menyelesaikan
permasalahan kecil seputar pelajaran yang diajarkan oleh gurunya. Bukan hanya
itu, gurunya juga sangat mengagumi pembawaan dan kecerdasan yang dimiliki oleh
Tuan Guru Haji Muhammad Faishal kecil, yang cepat tangkap dalam segala hal
terutama ilmu-ilmu agama.
Belum selesai dalam menempuh studinya, Maulana Syaikh Tuan
Guru Haji Muhammad Zainuddin AM, mempercayai Lalu Muhammad Faishal untuk
menjadi ustad membantunya dalam membimbing santri-santri yang berada di
bawahnya. Namun, karena masih haus terhadap ilmu yang dimiliki gurunya ini,
Lalu Muhammad Faishal dengan penuh adab mengatakan kalau akan terus berbakti dan
belajar pada Maulana Syaikh dengan mengatakan “saya masih mengharapkan ajaran
anda”.
Berkat kecerdasan yang dimilikinya serta ketaatan dan
kepatuhan terhadap gurunya, kemudian Lalu Muhammad Faishal mempertimbangkan
anjuran gurunya ini, sehingga ia bersedia menjadi guru muda. Kemudian Lalu
Muhammad Faishal diangkat menjadi guru muda/tenaga pengajar ditempat itu.
Dengan prestasi yang diperoleh, gurunya Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul
Majid memberikan perhatian khusus kepadanya untuk mendapatkan kamar khusus,
tidak seperti santri-santri yang lain yang menempati satu ruangan dengan isi 5
sampai 6 dalam 1 kamar.
Pada tahun 1943, Lalu Muhammad Faishal menyelesaikan
studinya di pondok pesantren tersebut, tetapi tidak meninggalkan pondok
pesantren tempat dia diajarkan ilmu agama oleh Maulana Syaikh TGH Zainudin
Abdul Majid. Lalu Muhammad Faishal diangkat menjadi tenaga pengajar oleh
gurunya, bukan lagi sebagai guru muda melainkan sebagai guru profesional ukuran
saat itu dan mengabdi di pondok pesantren Nahdlatul Wathan (NW) selama lima
tahun untuk semakin memperdalam ilmu karena di samping menjadi tenaga pengajar,
dia juga menjadi murid TGH Zainudin Abdul Majid.[3]
Pengabdian dan rasa ta’dzim yang tinggi serta didorong oleh
kecintaan terhadap gurunya ini yang membuat Lalu Muhammad Faishal betah dan
tidak mau meninggalkan Pancor Lombok Timur sampai ia mendapatkan ilmu yang
setinggi-tingginya. Di samping mempelajari ilmu-ilmu agama, Lalu Muhammad
Faishal juga sering bertanya kepada gurunya cara-cara pengembangan lembaga
pendidikan Islam, sebagai wadah dalam mengembangkan ilmu-ilmu yang diperolehnya
dan berguna bagi masyarakat seperti gurunya yang telah menjadi ulama pembaharu
dan terkenal di Lombok khususnya.
3. Menuntut ilmu di As-Sholatiyah Makkah al-Mukarromah
Tepat pada tahun 1947, TGH Zainudin Abdul Majid menganjurkan
kepada Lalu Muhammad Faishal untuk
semakin mendalami ilmu agama ke tempat yang lebih jauh, yakni ke Makkah agar
bisa dididik oleh guru-guru Maulana Syaikh pada waktu beliau masih di Makkah
al-Mukarromah. Melihat kecerdasan dan ketekunan yang dimiliki oleh muridnya
ini, Maulana Syaikh mengizinkan Lalu Muhammad Faishal untuk memperdalam ilmu ke
tempat tumbuh dan berkembangnya Islam ini.
Untuk menjalankan cita-cita gurunya ini, Lalu Muhammad
Faishal minta restu dan doa kepada orang tua, guru dan segenap kaum kerabat
untuk melanjutkan pendidikannya ke Timur Tengah (Makkah) untuk memperdalam ilmu
yang telah diperoleh dari gurunya menuju tempat lahirnya agama Islam hingga
nanti kembali sebagai rahmat bagi manusia lainnya.
Pada tahun 1947, Lalu Muhammad Faishal berangkat dan
menuntut ilmu, Lalu Muhammad Faishal juga menunaikan ibadah. Di tempat ini Lalu
Muhammad Faishal benar-benar tekun membawa amanah gurunya di Lombok Timur, Lalu
Muhammad Faishal belajar dengan tekun karena terinspirasi oleh ilmu yang
dimiliki gurunya dan tidak mengadakan pembatasan terhadap ilmu-ilmu tertentu.
Lalu Muhammad Faishal menuntut ilmu pada lembaga pendidikan
As-Sholatiyah sesuai yang dianjurkan oleh gurunya dan tempat gurunya menuntut
ilmu pada zamannya. Di tempat ini pula Tuan Guru Haji Muhammad Faishal terkenal
karena kecerdasan yang dimilikinya dan mudah bergaul dengan siapa saja serta
mendapat peringkat yang mengagumkan dari gurunya yang berada di sana.
Empat tahun menuntut ilmu dengan tekun dan
bersungguh-sungguh kemudian Tuan Guru Haji Muhammad Faishal kembali ke kampung
halamannya pada tahun 1951 untuk mengamalkan ilmu yang telah diperolehnya di
berbagai tempat.[4]
Kembalinya ke kampung halaman, bukan karena ilmu yang ada di Makkah sudah habis
atau ilmu yang diperoleh telah cukup, tetapi karena kerinduan masyarakat akan
hadirnya seorang pigur Tuan Guru sepertinya.
Sejak Tuan Guru Haji Muhammad Faishal kembali, masyarakat
datang berduyun-duyun untuk menuntut ilmu kepadanya, dengan semangat dan niat
yang tulus kemudian Tuan Guru menjadi guru bagi masyarakat dan mulailah kiprah
perjuangannya menjadi Tuan Guru yang selalu disibukkan dengan urusan-urusan
agama Islam. Karena kecerdasan dan kegigihannya dalam menghadapi segala jenis
persoalan agama, sehingga Tuan Guru Haji Muhammad Faishal diberikan gelar Singa
NTB.[5]
c.
Guru-guru yang Mempengaruhi Pemikiran Tuan Guru Haji
Muhammad Faishal
Hidup dan kehidupan manusia di muka bumi tidak terlepas dari
inspirasi, inspirasi digunakan sebagai motivator dalam menjalankan tugas
manusia baik sebagai khalifah maupun sebagai abdun. Dari inspirasi-inspirasi ini
manusia mampu mengahsilkan sesuatu yang baru dan kemudian dijadikan sebagai
rujukan bagi kehidupan berikutnya. Tidak terkecuali pada Lalu Faishal yang
menjadikan gurunya sebagai inspirasi dalam menjalankan tugasnya di muka bumi.
Berdasarkan sejarah hidup Lalu Muhammad Faishal dalam
menuntut ilmu di berbagai tempat sejak usianya yang masih terbilang sangat
muda, maka dapat diketahui dari sini siapa guru yang berpengaruh dan bagaimana
karakter gurunya yang telah berjasa besar dalam pertumbuhan sikap dan kepribadiannya
sehingga menjadi orang yang dikagumi oleh masyarakat dengan uswah, karena ilmu
yang diperoleh dan cara dalam menyampaikan ilmunya. Kesuksesan yang diperoleh Lalu
Muhammad Faishal dalam hidupnya tidak terlepas dari jasa seorang guru yang
telah mengajarkan dan mendidiknya untuk menjadi orang yang berguna bagi
masyarakat.
Lalu Muhammad Faishal menjadi seorang yang berpolitik,
karena ada gurunya yang mengajari ia berpolitik, Tuan Guru menjadi seorang
ulama Lombok Tengah yang sangat dikagumi, karena ada gurunya yang menggembelengnya
dengan ilmu-ilmu agama sehingga mengantarkannya menjadi seorang yang ahli dalam
bidang agama, mampu memecahkan persoalan-persoalan yang menyangkut agama dengan
bijak dan santun sesuai dengan kaidah yang terkandung dalam ajaran Islam.[6]
Dari gurunya di pesantren al-Ittihad Ampenan Lalu Muhammad
Faishal, banyak diberikan inspirasi dan pelajaran yang berguna untuk dirinya
dan orang lain, Tuan Guru dididik menjadi anak berbakat dan peka terhadap
masalah-masalah sosial serta selalu berpegang terhadap ajaran-ajaran agama dan
mengamalkan ilmu-ilmu yang telah diperoleh walaupun ilmu-ilmu yang diperoleh
ditempat ini masih ilmu dasar agama karena sesuai dengan pertumbuhan usianya.
Kecerdasan yang lahir dari Lalu Muhammad Faishal tidak serta
merta lahir dari dirinya sendiri, melainkan melalui didikan oleh guru. Ketika Lalu
Faishal mengenyam pendidikan di Pancor Lombok Timur, gurunya yang paling dekat
adalah Zainudin Abdul Majid, dialah yang mendidik dan mengarahkan Lalu Muhammad
Faishal menjadi orang yang sukses dalam karir pendidikannya. Dengan penuh
kerendahan hati dan ta’dzim yang tinggi Lalu Muhammad Faishal sangat menghargai
jasa-jasa dari Maulana Syaikh selaku gurunya. Dalam era selanjutnya dua Ulama
ini terkenal sebagai singa NTB.
Jasa gurunya di Pancor Lombok Timur terhadap pembentukan
karakter pribadinya tidak pernah dilupakan. Di Pancor Lalu Muhammad Faishal
banyak bertanya dan berdiskusi dengan Maulana Syaikh tentang model-model dan
cara dalam mengembangkan ajaran Islam, sehingga harapan Maulana Syaikh pada
waktu itu yang akan menjadi penerusnya di Lombok Tengah adalah Lalu Muhammad
Faishal.
Dengan tekad dan dorongan yang kuat untuk menjadikan Lalu
Muhammad Faishal sebagai penerusnya di Lombok Tengah, Maulana Syaikh sering
kali meluangkan waktunya untuk mengajak Lalu Muhammad Faishal ikut dalam
pengajian-pengajiannya sebagai salah satu cara agar Lalu Muhammad Faishal bisa
sepertinya. Cara dan metode yang diajarkan gurunya ini yang membuat Lalu
Muhammad Faishal terinspirasi untuk mengembangkan ajaran-ajaran Islam dengan
model yang dikembangkan oleh gurunya sehingga tidak mengherankan jika Nahdlatul
Wathan cepat berkembang dan diterima oleh orang banyak.
Dari ajaran-ajaran gurunya ini, Lalu Muhammad Faishal
memahami bahwa penyebaran ajaran-ajaran agama harus melalui pondok pesantren.
Pesantren sebagai tempat pengamalan dan pendidikan bagi santri-santri nantinya.
Bergerak dari cara pendidikan yang diperolehnya kemudian Lalu Muhammad Faishal
berniat untuk melanjutkan pesan-pesan gurunya untuk mengabdikan dirinya melalui
lembaga pendidikan Islam sebagai tempat dalam mendakwahkan Islam sebagaimana
cara gurunya.
Setelah keluar dari Pancor, Lalu Muhammad Faishal kemudian
berguru pada guru barunya di Makkah al-Mukarromah yaitu Maulana Syaikh Hasan
Muhammad al-Masysyat. Beliau adalah ahli Hadits yang sangat dikagumi oleh semua
orang terlebih lagi oleh murid-muridnya karena ilmu yang beliau miliki serta
metode yang digunakan dalam mengajari para muridnya. Metode mengajar yang
digunakan selalu membuat para muridnya senang dan tidak membosankan. Jika ada
murid yang berbuat salah, beliau tidak segan-segan menegur dan memberikan
peringatan kepada murid tersebut dengan teguran yang halus dan tidak akan
memarahi untuk membangkitkan minat belajar muridnya yang berbuat kesalahan.
Teguran yang diberikan hanya melalui sindiran-sindiran saja agar muridnya sadar
dengan sendirinya.[7]
Syeikh Hasan Muhammad tidak pernah mengenal kata menyerah
dalam membimbing para muridnya, baginya kesempatan adalah ilmu dan mendidik.
Kesehariannya digunakan untuk mengajar, mulai pagi hari, dia mengajar di
madrasah as-Sholatiyah sampai siang kemudian melanjutkan kegiatannya di
masjidil Haram pada waktu malam hari, bahkan rumahnya sendiri dijadikan sebagai
tempat/aula bagi orang-orang yang mau belajar ilmu agama.
Pada Syaikh Hasan Muhammad ini Lalu Muhammad Faishal banyak
belajar tentang ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadits. Tidak jarang Tuan Guru Haji
Muhammad bertanya kepada gurunya tentang model pengembangan madrasah
as-Sholatiyah sehingga menjadi madrasah yang terkenal diseluruh penjuru dunia,
bahkan sebagai tempat menimba ilmu bagi para ulama di dunia.
Oleh gurunya ini, Lalu Muhammad Faishal banyak diajarkan
bahwa pondasi dari cara dan metode pengembangan segala masalah berdasarkan
al-Qur’an dan hadits. Lalu Muhammad Faishal dicontohkan, ia bisa sampai di
Makkah karena adanya ayat Qur’an dan hadits untuk menuntut ilmu dan untuk
mengembangkan dan mengamalkan ilmu juga harus ada tempat dan lokasi yang jelas
sebagai wadah bagi pengembangannya.
Gurunya yang lain yang memiliki pengaruh besar dan berjasa
dalam mendidik dan mengkader Lalu Muhammad Faishal adalah Syeikh Salim
Rahmatullah. Syeikh Rahmatullah adalah seorang guru dalam bidang Tarikh Islam.
Mempelajari Tarikh Islam, otomatis telah mempelajari dan mendalami bagaimana
politik dalam Islam, sehingga tidak salah jika dikemudian hari Lalu Muhammad Faishal
menjadi seorang ulama yang berpolitik.[8]
Melalui pembelajaran Tarikh Islam yang diajarkan oleh Syaikh
Salim, Lalu Muhammad Faishal juga banyak mendapatkan ibrah sejarah Rasulullah
dan para sahabat yang telah mengembangkan ajaran-ajaran Islam melalui lembaga
pendidikan Islam. Pada zaman Rasulullah pengembangan dan ajaran pendidikan
Islam dilakukan di masjid, begitu juga dengan para sahabat dan setelahnya ke
bawah. Lembaga pendidikan Islam, memang merupakan pondasi terpenting bagi
Syaikh Salim sebagai wadah dalam mengembangkan ajaran-ajaran Islam kepada
masyarakat secara umum.
Berangkat dari pelajaran dan diskusi mengenai tarikh Islam
ini kemudian yang banyak memberikan ispirasi kepada Lalu Muhammad Faishal untuk
mengembangkan ajaran-ajaran Islam melalui lembaga pendidikan Islam, dan berniat
untuk mencetak dan melahirkan para penerus agama yang nantinya bisa sepertinya
dan guru-guru yang telah mendidiknya.
Selain gurunya yang di atas, yang berpengaruh juga adalah
Syeikh Muhammad Amin al-Kutbi. Syaikh
ini ahli dalam bidang sastra dan Fiqh, dengan adanya hal ini, maka tidak
mengherankan jika Lalu Muhammad Faishal juga cerdas dalam menyusun wirid dan
mahir dalam ilmu fiqh. Penyusunan Wirid ManhalulnUlum juga diinspirasi dari
penyusunan Hidzib Nahdlatul Wathan oleh Zainudin Abdul Madjid.[9]
Tuan Guru Haji Muhammad Faishal banyak memperdalam ilmu-ilmu
fiqh dan ushul fiqh dari Syaikh al-Kutbi. Ilmu-ilmu yang diperolehnya juga
diniatkan sebagai salah satu model dan pelajaran sebagai landasan berfikir
untuk mengetahui mana yang boleh dan tidak boleh dalam kehidupan manusia. Fiqih
juga merupakan sebuah mata pelajaran yang harus ada dalam lembaga pendidikan
Islam yang formal. Dari gurunya ini Lalu Muhammad Faishal banyak mempelajari
imam-imam seperti Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali.
Terinspirasi dari gurunya ini kemudian yang membuat Lalu Muhammad Faishal senang terhadap ilmu
fiqih, sehingga kebanyakan isi pengajian yang disampaikannya selalui mengarah
kepada fiqih, mulai dari taharah sampai kepada masalah yang dianggap besar oleh
masyarakat seperti Haji dan Umrah. Ilmu fiqih bagi Tuan Guru Faishal adalah
ilmu yang penting dan harus diamalkan dengan tekun berdasarkan empat Imam.
d.
Karya-karya
Dalam hidupnya, Lalu Muhammad Faishal senang membaca
kitab-kitab yang telah dikaryakan oleh ulama-ulama sebelumnya. Karena spesifik
keilmuannya adalah di bidang keagamaan, maka kitab-kitab yang beliau senangi
adalah kitab-kitab para ulama terdahulu yang mampu diaplikasikan pada zamannya.
Secara spesifik, Tuan Guru Haji Muhammad Faishal tidak
memiliki karya, karena seperti kenyataannya bahwa hari-hari Tuan Guru selalu
disibukkan untuk berdakwah ke berbagai macam tempat untuk kemashlahatan
masyarakat. Dia belum sempat mengarang sebuah buku atau kitab karena kesibukan
yang dialaminya, di pagi hari Tuan Guru mengajar di madrasah Manhalul Ulum,
pulang dari madrasah, Tuan Guru Faishal memberikan pengajian umum kepada
masyarakat sesuai jadwal yang telah ditentukan oleh masyarakat dan
kesepakatannya juga. Sama halnya dengan malam hari, Tuan Guru disibukkan dengan
mengajari para santri di pondok pesantren Manhalul Ulum.
Kesibukan yang dialami oleh Tuan Guru Haji Muhammad Faishal
berlanjut hingga wafatnya. Kesempatan untuk menulis sebuah kitab tidak pernah
dihiraukannya, bahkan kalau ditanya sama muridnya membuat hasil karya, dengan
senyum Tuan Guru menjawab, “kitab-kitab ulama terdahulu saja belum mampu kita
baca, analisa dan evaluasi, semua permasalahan yang ada sudah semua dibahas
dalam kitab-kitab ulama terdahulu, jadi kalau hanya mengulang kembali karya
orang lain, buat apa?”. Ungkapan semacam ini selalu dikatakannya hingga Tuan
Guru wafat.[10]
Tetapi sebelum wafat, Tuan Guru pernah menyusun Wirid yang
diberi nama Wirid Manhal. Wirid tersebut berisi doa, shalawat dan istighfar
yang selalu diamalkan oleh para santri, alumni dan warga NU sebagai bentuk satu
kesatuan ummat NU Lombok Tengah khususnya. Wirid ini dicetak kemudian dibagikan
kepada para alumni, santri dan masyarakat untuk dibaca dan diamalkan isi wirid
tersebut.
Sebagai refleksi, menulis dan
membaca kemudian menggali (ijtihad) Dalam Islam tidak dapat dipisahkan dalam
pengkajian islam, karena menulis akan menghasilkan ilmu yang bermanfaat bagi
generasi berikutnya, sebagai amal jariah yang nyata dan karya yang abadi
sebagai rujukan hidup bagi generasi berikutnya. Sebagai seorang Tuan Guru yang
tersohor, menulis dan menyusun sebuah buku atau kitab adalah sesuatu yang
penting. Jika harimau mati maka yang dikenang adalah belangnya, begitu juga
dengan manusia apalagi seorang ulama yang besar. Kepergiannya adalah suatu hal
yang sulit diterima bagi para santri dan kalangannya, maka menulis sebuah buku
adalah sesuatu yang menarik untuk ditinggalkan sebagai tolak ukur ilmunya.
Lewat buku atau kitab, golongan maupun individu akan mengetahui dan mengenang
dengan baik hasil pemikirannya.
Islam sering kali terbuai
dengan kondisi masa lampau ketika orang-orang Islam menduduki masa emasnya, dan
masa emas Islam ditandai dengan banyaknya para peneliti dan penemu ilmu-ilmu
baru yang kemudian diakui oleh dunia dan menyebabkan orang yang berada di luar
gargis Islam tertarik untuk masuk dalam lingkungan Islam dan memeluk agama
Islam, karena keahlian orang Islam dalam menyelesaikan masalah lewat
penelitian-penelitiannya. Budaya menulis, membaca dan diskusi dijadikan sebagai
budaya yang harus melekat pada diri orang Islam pada masa keemasannya. Hal ini
yang membuat orang Islam terlena dan tidak ada lagi sekarang bisa dilihat orang
yang benar-benar mengkaji ajaran-ajaran al-Qur’an dengan menulis dan membaca
disebabkan karena banyak faktor. Orang Islam saat ini malah sudah berkiblat ke
ilmu-ilmu Barat dan menggunakan standar keilmuan barat yang dengan sengaja
telah meniadakan pengaruh tokoh-tokoh muslim pada masa lampau.
Masa keemasan Islam ditandai
dengan produktifnya para muslim dalam menulis, membaca, meneliti dan mengkaji
ilmu yang kemudian dibukukan sebagai hasil produktivitas yang memerlukan
pengkajian lagi pada era berikutnya, yhakni generasi Islam selanjutnya.
Karya-karya tokoh Islam yang masih dipelajari dan taati dan dijadikan sebagai
rujukan dalam ilmu fiqh seperti Imam Syafii, maliki, hambali, hanafi, ibnu
kholdun, imam ghazali, ibnu taymiyah, ibnu sina dan lain sebagainya.
Orang-orang ini adalah tokoh Islam yang produktif dan telah mampu melahirkan
budaya Islam dan karyanya sampai sekarang masih utuh dan dijadikan sebagai
rujukan bagi orang Islam di Indonesia.
Bisa dibayangkan jika Ulama
di Nusa Tenggara Barat juga menorehkan hal yang sama dengan para pendahulunya.
Menyusun sebuah karya sebagai warisan budaya ke-Islaman kepada generasi
berikutnya. Sebut saja Tuan Guru Haji Lalu Muhammad Faishal seorang tokoh
ternama yang nama besarnya dalam bidang keagamaan, pembawa organisasi keislaman
Nahdlatul Ulama di Lombok Tengah sampai saat ini pemikiran dan kiprahnya dalam
keislaman tidak bisa ditampilkan oleh generasi berikutnya, dengan alasan sudah
ada kitab dari para imam terdahulu yang harus kita pelajari.
Bukan karena ketidak
mampuannya menghasilkan karya tertulis dan bukan pula karena tidak ada
kesempatannya dalam merangkai kata demi kata, hanya saja rasa ta’zim yang
berlebihan kepada ulama terdahulu sehingga karya dan pikiran yang ada hanya
berbentuk pesan dan kesan kepada masyarakat Islam yang tidak tertulis sampai
Lalu Muhammad Faishal harus meninggalkan gnerasi-generasi yang masih haus akan
ilmu dan ketokohannya. Bisa dibayangkan jika Lalu Faishal menulis sebuah karya,
maka bukan tidak mungkin, karya tersebut akan dijadikan sebagai senjata
kenangan terindah yang pernah diberikan kepada masyarakat Lombok Tengah. Hanya
Wirid Manhalul Ulum yang sempat disusun
sebagai bentuk karya yang sampai hari ini masih dijadikan sebagai bacaan
pemersatu bagi orang-orang Nahdliyyin yaitu sebagai identitas bahwa yang
mengamalkan dan membaca wirid manhalul ulum adalah orang-orang NU yang selalu
setia dan masih istiqomah terhadap organisasi NU dan masih ta’zim kepada
pendiri NU Lombok Tengah yaitu Tuan Guru Haji Lalu Muhammad Faishal.
Seorang ulama menjadi
terkenal bukan karena adanya media yang menyorotinya setiap hari melainkan
karena keilmuannya yang tinggi yang mampu dituangkan dalam karya-karya kitab
atau buku. Sehingga sosok ulama yang disebutkan di atas tersohor dengan
karya-karya yang dihasilkannya. Ulama terdahulu terkenal dengan tulisannya dan
akan terus dikenang abadi dengan karya-karya yang telah dibukukannya. Mereka
begitu ikhlas dalam membagi ilmu kepada khalayak ramai melalui buku atau kitab,
ulama terdahulu lebih melihat kepada aspek tersebarnya ilmu pengetahuan kepada
generasi Islam dan bermanfaat bagi generasi selanjutnya.
Ternyata dari hasil
pengamatan penulis terhadap Tuan Guru dan ulama di NTB, realitanya malah
mencerminkan sebaliknya, kalau ulama terdahulu terkenal dengan karya-karya yang
sampai saat ini masih dijadikan sebagai panduan dan rujukan hidup berbeda
dengan Tuan Guru, Kyai dan umumnya Ulama di NTB mereka terkenal bukan karena
hasil karya tulisannya melainkan kebanyak terkenal karena sering mengisi
pengajian, dan dipopulerkan melalui baliho dan media massa. Tuan Guru yang
produktif menulis dan menghasilkan karya bagus, malah bukan orang yang terkenal
dan bukan dari pengikut madzhab yang umumnya diikuti oleh orang Indonesia,
yaitu madzhab Syafii. Padahal sudah menjadi sunnatullah, jika para Tuan Guru,
Kyai dan ulama secara umum tidak memiliki karya dan hasil tulisan, maka namanya
akan mudah tenggelam di masa selanjutnya dan hanya bertahan sampai dua generasi
apabila tidak ada karya tulis yang pernah dibuat.
[3]Usman dan Lubna, Menalar
Jejak Historis Pendidikan Islam: Klasik, Pertengahan, Modern, Indonesia dan
Lokal (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2010), 141.
[5] Wawancara, Muhsin Bukhari, Murid Tuan Guru Faishal, Pondok Pesantren Darul Ulum, 2 Februari 2013.
0 comments:
Post a Comment