Powered by Blogger.

Analisamu Sungguh Tajam dan Bermanfaat !! Belajarlah dari hal yang sederhana

Siswa SMK Kesehatan NW Teros  Tertanggal 24 November 2019 Siswa SMK Kesehatan NW Teros menggelar Praktik Kerja lapangan di dusun bagik l...

Search This Blog

Pages

Pages - Top Menu

Pages

Blogroll

https://elhakimfamily.blogspot.com

Pages - Menu

About

Popular Posts

Wednesday 8 January 2020

Pemuda Masa Kini


Pemuda Masa Kini 
Pemuda Masa Kini
Pemuda, sebutan yang sering digandrungkan dalam perang lisan dan tulisan, sebutan yang sering membuat yang tua mengeluh karena masa mudanya tidak sehebat pemuda zaman now, atau pemuda adalah sebutan yang tua karena tidak menghabiskannya dengan huru-hara. Ia adalah sebutan yang kebaikannya menjadikan bangsa berbangga, yang keburukannya menjadi siaga nol dua terhadap keresahan berjamaah. 
Di tangan pemuda bangsa ini akan merekah, karena pemuda adalah aset sumber daya manusia yang memperkukuh pembangunan baik saat ini maupun masa datang, sebagai generasi penerus yang akan menggantikan generasi tua. Sehingga pemuda sering diidentikkan dengan barang yang tidak ternilai harganya, yang akan terus mengalami kenaikan dengan prestasi-prestasi yang menjulang tinggi, membawa harum nama daerah terlebih bangsa. Sekali lagi, pemuda adalah simbol kemajuan dan kemunduran bangsa.
Semua itu adalah harapan setengah semu, kondisi berbalik dengan realitas sekarang ini, pemuda menjadi sorotan dalam tingkah lakunya. Hal-hal negatif diidentikkan dengan carutnya wajah pemuda Islam di bumi mayoritas ini, kerusakan dan tidak bermoralnya dilimpahkan kepada pemuda zaman now, kemudian bermunculan perbandingan yang seakan membunuh jiwa pejuangnya kaum muda. Mulai dari segi pergaulan atau sosialisasi, cara berpikir mereka yang sempit serta cara menyelesaikan masalah yang serba gundah gulana.
Berawal dari segi pergaulan misalnya, pemuda sekarang terkesan acuh terhadap masalah-masalah sosial di lingkungannya. Mereka terpengaruh oleh bebasnya gemerlapan dunia yang sebagian menutup arah berpikir jernih, mereka harus terjebak dalam pergaulan bebas, penyalahgunaan narkotika, yang tidak hanya terjadi di perkotaan saja tapi sudah merambat ke pedesaan bahkan ke perkampungan. Dan yang paling terasa berpengaruh adalah kemajuan teknologi dan informasi yang kian global.
Harus diakui, peranan pemuda zaman ini turun drastis, dalam sosialisasi mereka lebih mengutamakan kesenangan yang bersifat sementara dan berhura-hura dengan kelompoknya, bahkan kalau tidak nakal, mereka akan terjebak dengan ungkapan kolot oleh sebagian sebayanya. Sebagian mereka berbangga dan angkuh dengan prestasi keturunannya, tetapi lupa akan misi besarnya sebagai penanggung amanah sebuah peradaban baru, mereka seakan menutup mata rapat-rapat untuk berpandangan jauh ke depan, mengambil bagian dalam konstruksi kehidupan yang telah digoreskan al-Qur’an maupun al-Hadits.
Sebagian mereka lebih senang meniti jalan yang lurus tanpa mengetahui bahayanya tikungan dan terus melangkah enggan menoleh ke belakang. Akhirnya justru terkurung dalam penjara syahwat yang diperoleh tanpa proses, dan semuanya dianggap bagus karena desakan nurani yang didapatnya dengan keimanan yang kosong dan rusaknya moral. Hidupnya terasa berarti karena mampu melakukan sesuatu dengan menebar pesona seakan dunia tunduk dihadapannya, tanpa disadari semua itu sekilas lalu.
Di tengah carut-marutnya hukum di negeri, pergulatan sosial dan politik melaju deras, kebingungan individu akan kepastian sulit diperoleh, yang benar dipelintir dan yang tidak benar disanjung dengan dalih kebenaran, yang nyatanya hanya sebuah keberpihakan. Dalam kondisi demikian, pemuda hadir bak pahlawan kesiangan, seakan membawa solusi, memukul gendang perang dan mengangkat bendera setinggi-tingginya seraya berteriak “negara sedang sakit”, “rakyat butuh keadilan”. Tetapi yang ada hanyalah penampakan pisau belati yang membuat negeri semakin tergores, bukan tentang teriakannya, bukan pula tentang kuantitasnya, tetapi tentang akhlak dan moral yang digadaikan untuk kepuasannya dan tentang kualitas diri yang terjual dengan harga yang murah. Lalu kerusakan moral ditampakkan dengan hati berbunga-bunga, seakan dunia hanya milik mereka yang lantang berteriak dan menantang.
Berapa banyak pemuda yang mencoba mempelajari ilmu-ilmu agama, memperdalam pelajaran akidah dan akhlak, berusaha menguasai bahasa arab, untuk memudahkan menghafal ayat-ayat sucinya. Tapi dibalik pongahnya, terkadang pemuda harus jujur dengan kondisi labilnya, bahwa intelektual yang dimilikinya untuk menjerat lawan jenisnya, berdalih kecerdasan dengan gampangnya mengurai teks seribu janji. Akhirnya mereka terbuai, perzinahan merebak mekar, pernikahan dini merajalela dengan mengorbankan pendidikan, hari-hari penting ala pemuda dinantinya, berharap umur panjang agar dapat merayakan Valentine, dan pada akhirnya, anak yang baru lahir banyak ditemukan dibalik semak atau bak sampah, aborsi menjadi jawaban tingkah liarnya.
Dalam hal budaya, pemuda dengan masifnya mengampanyekan budaya luar yang terasa lebih keren dari budaya sendiri. Semua yang berasal dari barat kemudian di ingat, sampai menghafal semua nama pameran film dan aktrisnya, artis sebagai publik figur banyak yang tersandera kasus narkoba, seks bebas dan sebagainya. Dalih mengidolakan, isi akun Facebook, twitter dan Youtube, semua tentang idola. Idolanya seakan menjadi Kyai bagi liku hariannya, pemuda kemudian mencoba budaya yang ditampilkan guru media sosialnya akhirnya lupa daratan, ibadah terjual dengan sang idola. Ia lebih menghafal lagu-lagu, gaya hidup idolanya sehingga pemuda berusaha mengikuti idolanya dengan berbagai macam cara, bukan buku atau kitab disaku baju atau celananya, tapi hand phone dan rokok dengan berbagai merek yang diperoleh dengan membohongi orang tuanya.
Sekarang ini, jarang sekali terlihat budaya santri membaca dan mengkaji kitab-kitab bersejarah, jarang pemuda menyibukkan diri dengan hadir diberbagai majelis ilmu atau meramaikan tempat-tempat ibadah semesta. Adzan berkumandang memanggil umat Islam untuk segera menyembah sang Khalik, tapi pemuda kita memanfaatkan waktunya untuk sekedar bersenda gurau dengan jamaah kecilnya, mendiskusikan akhwat yang tidak jelas alur ngidulnya sembari mengisap rokok yang seakan tidak ada habisnya. Tempat ibadah pun hening dari kicauan para pemuda, kata “Asyik” lebih mulia dari panggilan Allah.
Miris memang coretan kiprah generasi bangsa saat ini, kebablasan berbuat seakan tidak ada pegangan hakiki, mendesain kaligrafi bukan di buku atau alat yang seharusnya, menggambar dan melukis bukan juga pada lembaran yang sepatutnya, tapi pemuda mendesain dan menggambar pada bagian tubuh yang seharusnya dijaga dan dirawat yang disebutnya sebagai tato. Bukan satu atau dua orang yang menegur dan menyalahkan, kelompok bahkan ahli agama juga intervensi, tetapi itu hanya membuang energi dan dengan gagahnya menyangkal “ini adalah sebuah seni”. 

0 comments:

Post a Comment