Mengaji Agama Dan Budaya
Ngaji Agama dan Budaya
Menelaah mengenai hubungan antara agama dan budaya, memang bukan pembahasan yang baru, sejak dulu hingga sekarang hal ini masih menjadi perbincangan yang hangat di kalangan akademis, terlebih para ilmuan yang mengkaji tentang amalan-amalan agama dan budaya. Hal ini berarti bahwa ada sesuatu yang rancu dari praktik agama dan budaya, ibadah dan muamalah, sunah dan Bid’ah dan lain sebagainya, sehingga sering menjadi sorotan signifikan yang perlu dikaji terus menerus sehingga menemukan titik erotis. Sebelum membahas lebih dalam antara keduanya, tentu agar tidak semakin rancu mengetahui konsep keduanya adalah pilihan yang tepat.
Agama adalah aturan-aturan yang bersumber dari Allah sedangkan agama sumber mutlaknya dari manusia melalui pembiasaan-pembiasaan.
Agama merupakan hasil karya Allah yang kebenarannya absolut untuk kemashlahatan manusia, sedangkan budaya merupakan arya manusia yang kebenarannya masih bisa dipersepsikan oleh manusia. Ini berarti, antara agama dan budaya berjalan sesuai real nya masing-masing sesuai dimensi yang terkandung di dalamnya.
Tetapi walaupun agama dan budaya lahir dan berjalan sendiri, bukan berarti keduanya tidak ada ikatan atau kaitan sama sekali, melainkan keduanya berhubungan mesra dalam beberapa konteks keagamaan pada masyarakat. Ajaran-ajaran Tuhan yang terakumulasi dalam kitab yang disebut agama, hadir dalam kontestasi mewarnai budaya yang berkembang di Indonesia melalui ajaran-ajaran rutin agama dan pemeluk agama. Bahkan keduanya berjalan beriringan tanpa bisa dibedakan mana syariat mana tradisi.
Pada sebagian masyarakat awam, membedakan antara ajaran agama dengan budaya sangatlah sulit, sering kali budaya atau tradisi yang berkembang disebut sebagai ajaran agama yang harus dilakukan dan ketika tidak bisa dilakukan, maka ia akan merasa berdosa dan menjadi beban dalam hidupnya. Padahal kalau mereka menelaah dengan serius, maka akan ditemukan bahwa yang dilakukan bukan ajaran dari agama, melainkan tradisi yang sudah lama berkembang dan menjadi kebiasaan turun menurun kemudian digandengkan dengan ajaran agama. Dan terkadang ajaran tradisi ini lebih mulia dan terhormat bagi masyarakat daripada ajaran agama yang hukumnya wajib bagi umat manusia.
Dua nuansa ini, sejak dulu dan mungkin saja masa yang akan datang tidak akan sirna dari Indonesia, karena keduanya sudah seiring sejalan dan berkembang dengan harmonis. Antara agama dan budaya tidak bisa dilepas dalam hal-hal tertentu, keduanya telah berhasil mewariskan norma dan etika yang menjadi identitas keindonesiaan sehingga dikenal identitas ketimuran. Keduanya telah berhasil merawat keberagamaan masyarakat Indonesia dan akan terus dikembangkan.
Di Lombok, tradisi yang tidak akan hilang adalah tahlilan ketika ada yang meninggal dunia. Tahlilan menjadi budaya yang begitu sakral posisinya sampai mengalahkan ajaran sejati Islam, seperti kegiatan aqikah dan qurban yang dilakukan bagi orang yang mampu. Aqikah dan Qurban kalah pamor bila dibandingkan dengan kegiatan tahlilan, padahal dari segi ajaran, kewajiban umat terhadap orang yang meninggal dunia adalah memandikan, mengafani dan menyalatkan. Unsur tahlilan sudah masuk dalam tradisi dan berbaur dengan ajaran Islam, sehingga masyarakat Lombok Tahlilan tersebut sudah dijadikan sebagai ajaran agama yang sifatnya “memaksa”, yang jika tidak dilakukan, maka akan bermunculan kesan negatif oleh masyarakat yang mengklaim bahwa yang tidak melakukan tahlilan sudah keluar dari ajaran Islam.
Mulianya anggapan masyarakat tentang tradisi tahlilan, terkadang memicu konflik dari paham baru yang mengeluarkan argumen bahwa tidak adanya dalil tahlilan atau tidak ada dasar melakukan tahlilan sehari dua hari atau tiga hari. Pengkajian seperti ini marak terjadi, tapi terlepas dari semua itu, harmonisasi bermasyarakat harus diutamakan, mengingat hal tersebut adalah tradisi baik yang dijalankan dengan selalu mengagungkan kekuasaan Allah. Bahkan kalau dirunut tradisi tahlilan yang dihukumi “memaksa” oleh masyarakat mengalahkan yang dihukumi wajib dilakukan oleh muslim, seperti Aqikah dan Qurban. Aqikah dan qurban kalah tenar dengan tradisi-tradisi keislaman lainnya.
Keharmonisan antara agama dan budaya di Indonesia mulai di “sanad” kan ketika sembilan Wali yang dikenal dengan Wali Songo masuk di pulau Jawa untuk menyebarkan ajaran yang mulia dengan menggunakan pendekatan budaya lokal yang ada. Mereka hadir dengan penuh rahmat tanpa merusak tatanan yang sudah menjelma menjadi warna pulau Jawa saat itu, keharmonisan mereka tunjukkan tanpa menyalahkan budaya yang ada dengan memaksakan intisari ajaran Islam. Mereka membiarkan budaya yang berkembang dengan sedikit demi sedikit mengadakan pembauran ajaran Islam dengan budaya setempat. Alhasil dua karya (karya Allah dan karya manusia) ini bisa sejalan seiring dalam pentas keharmonisan di Indonesia.
Salah satu budaya yang sering dijadikan contoh dalam pembahasan agama budaya adalah tradisi wayang yang masih bertahan hingga sekarang di Jawa. Wayang memiliki peran yang signifikan dalam penyebaran Islam, dimana tradisi wayang mengalami akulturasi budaya dengan ajaran-ajaran Islam yang dalam prosesnya sering disebut local genius. Local genius artinya, kemampuan menyerap kemudian menyeleksi dengan cermat dan selektif terhadap budaya asing sehingga menghasilkan suatu yang baru yang tidak terdapat di wilayah asal akulturasi itu.
Sejak Islam berkembang hingga hari ini, hubungan antara agama dan budaya seperti simbiosis mutualisme yang saling melengkapi. Budaya hadir di Indonesia dengan beragam sebagai warna keindonesiaan, kemudian agama membutuhkan alat untuk memberikan kemudahan bagi pengikutnya menyerap ajaran-ajaran Islam dengan mudah. Agar ajaran Islam ini tidak terkesan sulit bagi masyarakat yang baru mau mengenal agama, maka budaya sebagai alat untuk memudahkan.
Dijadikannya budaya sebagai alat, supaya agama lebih mudah dipahami dengan menggunakan pendekatan budaya, karena budaya atau tradisi itu lahir dan dibesarkan pada daerah setempat sehingga kalau tidak diterapkan, maka akan terasa ada sesuatu yang hilang dari komunitas, maka Islam masuk dengan mengadakan pembauran mengikuti budaya yang ada dan tidak dengan cara menerapkan pesan-pesan agama dari Timur Tengah yang tentunya akan menimbulkan kesenjangan bagi pelaku tradisi, dan bahayanya Islam akan kesulitan diterima.
Dalam perkembangannya, metode penyebaran Islam melalui budaya ternyata metode yang paling jitu bagi penduduk nusantara dengan kurun waktu yang sangat singkat, pesan keislaman berkembang di seluruh penjuru nusantara mengalahkan perkembangan agama lain. Awalnya, penduduk nusantara beragama Hindu dan Budha, berkat akulturasi yang digunakan, ajaran Islam berkembang menggantikan posisi Hindu dan Budha.
Selain budaya sebagai metode, fungsi budaya bagi perkembangan agama juga sebagai wasilah. Artinya, dalam proses interaksi agama dan budaya, penyesuaian dengan wajah asli, karya sendiri dan wujud kelembutan sendiri terlihat lebih kompatibel dan mudah bila dibandingkan dengan cara-cara Timur Tengah. Seandainya tradisi Timur Tengah dipaksakan pada konteks ketimuran (Indonesia), maka akan mengakibatkan kesenjangan dengan cara yang berlaku.
Untuk melihat hal ini, bisa dikaji proses islamisasi nusantara, dalam sejarah Islam masuk di wilayah Indonesia sekitar abad ke 8 yang dibawa oleh ulama dari Gujarat dan mempersembahkan Islam di Aceh, Sumatera, bahkan di Jawa. Tetapi Islam pada abad ini tidak mengalami perkembangan yang signifikan sampai kepada era Kerajaan Majapahit. Pada era inilah Islam mulai berkembang ke seluruh penjuru nusantara. Lalu kenapa Islam stagnan pada abad ke 8?
Hal ini selalu diperbincangkan, alasan terkuat adalah karena penyebar agama Islam tidak menggunakan pendekatan budaya setempat, dan seakan memaksa budaya arab diterima oleh penduduk nusantara, sehingga mengalami kesulitan dalam perkembangannya. Hal inilah sebagai langkah evaluasi dan pengkajian bagi Wali Songo yang meneruskan titah penyebar Islam untuk berikhtiar dengan menggunakan budaya yang berlaku pada daerah setempat sebagai alat dan hasilnya bisa dinikmati hingga hari ini.
Namun, walaupun terjadi pembauran antara agama dan budaya dalam penyebarannya, teks al-Qur’an dan ajaran-ajarannya tidaklah mengalami perubahan. Karena Islam itu akan terus menarik sesuai dengan perkembangan tempat dan zaman. Kondisinya lebih mudah dipahami, dan ekspresinya lebih bisa beragam, sehingga menunjukkan bahwa kebenaran ajaran Islam tetap abadi walaupun dihadapkan dengan situasi dan kondisi bagaimana pun, klasik maupun modern, milenial maupun post milenial huruf dan angka teks ajaran Islam tetaplah utuh.
Pendapat lain yang menjelaskan penyebaran Islam cepat berkembang akibat relasi agama dan budaya juga karena tradisi Indonesia mirip dalam beberapa hal dengan ajaran Islam. Warga Indonesia bersifat ramah-tamah, murah senyum dan mengutamakan persatuan dan kesatuan. Islam masuk dengan ajaran yang sama dengan karya manusia yang dibiasakan sehingga tanpa proses panjang, masyarakat cepat menerima ajaran Islam. Agama akan mudah diterima masyarakat, apabila ajaran agama tersebut memiliki kemiripan atau kesamaan dengan budaya setempat. Sebaliknya agama akan sulit diterima, apabila ajaran agama bertentangan dengan ajaran-ajaran manusia yang terdapat di masyarakat.
Singade yg comment
ReplyDelete